Kisah Pernikahan R.A. Kartini
Karena ia menaruh hormat dan ingin berbakti pada sang ayah, akhirnya Kartini menerima pernikahan tersebut dengan syarat. Salah satunya syaratnya adalah ia tak ingin melakukan prosesi adat pernikahan dengan berjalan jongkok, berlutut dan mencium kaki suami. Hal ini adalah bentuk keputusannya yang menginginkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, Kartini juga ingin tetap diperbolehkan mengejar cita-cita memajukan para perempuan Hindia Belanda. Ia ingin dibuatkan sekolah khusus perempuan dan meminta untuk mengajar sebagai guru di Rembang. Beruntung, syarat-syarat tersebut dipenuhi oleh Raden Adipati Djojodiningrat sehingga Kartini merelakan dirinya dipoligami dan dijadikan istri ke-4.
Padahal, Kartini merupakan sosok yang menentang keras adanya poligami. Karena sejak kecil, ia sudah paham betul bagaimana rasanya tumbuh di keluarga yang menganut poligami.
Saat ia kecil, sang ayah yang menjabat sebagai Bupati Jepara harus menikah dengan seseorang yang juga keturunan bangsawan. Maka dari itu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan, seorang perempuan keturunan bangsawan. Ibu Kartini, Ngasirah, harus memikul beban hidup dan rela dimadu dalam pahitnya kehidupan.
Terbukti, atas sumbangan pemikiran yang telah diberikan Kartini kepada Indonesia, Presiden Soekarno pun mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964. Dalam keputusan tersebut, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Selain itu, Soekarno juga menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Hari tersebut ditetapkan sesuai dengan tanggal lahir Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 1879. Selain itu, peringatan tersebut dibuat untuk mengenang jasa-jasa Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia. Sejak saat itulah, peringatan Hari Kartini pun terus dilakukan setiap tahunnya hingga sekarang
Komentar
Posting Komentar